Als Ik Mijn Denken Volgde.

Karya mungkin mengandung konten seperti referensi percobaan bunuh diri yang dapat memicu perasaan yang tidak menyenangkan.

Oleh Asti.

Desember 2021. Dia yang tak ingin disebutkan namanya bercerita dengan air matanya kepadaku. Ini benar-benar terjadi.

Rabu pertama di bulan Desember. Pukul 21.15.

Aku kembali ke rumahku. Aku lelah tapi semakin lelah. Aku menyapa kamar tidurku tanpa cahaya lampu. Hal menyakitkan itu baru saja terjadi dan merenggut rasa kantukku. Aku merasakan emosi yang berlebih. Tak terasa, sepertinya hampir 1 jam air mata bercerita. Aku ingin menutup mata, berkelana di alam mimpi, tetapi aku tak bermimpi apapun malam itu. Aku memeluk diriku yang tidak berarti ini. Menarik napas dan menghembuskan perlahan. “Ik ga naar Kinderdijk… Een dag…” setelah kalimat itu terucap, aku tertidur.

Kamis pertama di bulan Desember. Pukul 12.45.

Aku duduk termenung. Suasana rumah yang sepi turut disampingku. Masih tentang ‘sakit’ yang semalam. Pikiranku melayang ke suatu dunia yang berbeda. Aku berjalan mencari seutas tali dan menemukannya. Setelah itu, aku berjalan menuju kamar tidurku. Menatap ke langit-langit kamar, ada tempat yang bagus. Aku menarik sebuah kursi kecil dan memasang tali. Doei…

Keluargaku tiba, mendapati pintu rumah tak terkunci. Aku telah memberikan mereka ‘kejutan’. Tergantung dan terhembus sedikit oleh angin. Mereka berteriak, aku tidak mendengarnya. Kabar tentangku ini segera mereka beritahukan, termasuk kepada teman-temanku. Semuanya terkejut ketika mengetahuinya. Bahkan, ada yang sangat tidak dapat mempercayainya. Banyak pertanyaan bermunculan. Mengapa aku berani memilih jalan ini? Karena hanya jalan ini yang ingin mendengarkanku.

Suasana rumahku yang dingin. Kedua orangtuaku berada di sisiku. Tanpa senyuman sedikit pun. Mereka yang (mungkin) tidak merasa menyakitiku juga ikut menangis. Sepertinya paling sedih. Merasa kehilangan aku. Sudah, aku tidak akan membebani kalian. Aku hanya ingin minta maaf karena tidak sempurna seperti kalian. Lupakan saja hal kemarin yang hampir aku anggap indah.

Aku membayangkan andai hal itu menjadi kenyataan. Rindu akan kehadiranku. Bertanya mengapa ini terjadi. Sungguh dunia yang sangat aku harapkan. Namun, aku melihat hal pilu di dunia itu. Kedua orangtuaku tak sanggup kehilangan diriku. Merasa tersiksa. Mereka pun berakhir sama sepertiku.

Oh, Tuhanku… dunia itu sangat mengerikan. Aku tak ingin mereka mengikutiku dengan cara itu. Aku lalu kembali pada dunia ini.

Aku merasa ingin berada di dunia yang aku ciptakan sendiri itu. Namun, aku melihat banyak hal buruk yang akan terjadi pada keluargaku. Terpaksa aku kembali ke dunia yang sebenarnya. Berhenti sebentar. Andai aku berada di dunia itu, aku tidak akan merasakan kebahagiaan awal tahun. Andai aku berada di dunia itu, aku tidak akan membaca banyak buku lagi. Andai aku berada di dunia itu, aku tidak akan bertemu dengan teman yang memelukku dengan kehangatannya. Andai aku berada di dunia itu, aku tidak akan pernah pergi ke Kinderdijk. Andai aku berada di dunia itu, aku tidak akan menceritakan tentang ini disini.


Latte.

Oleh mrffdlh.

Hari ini hari Minggu, gua lagi nongkrong sama teman-teman gua di kedai kopi di Bogor, sekarang jam tiga sore dan gua lupa kalo ada deadline tugas yang harus dikumpul persis jam enam sore ini.

Gua baru sadar akan hal itu pas gua lagi nyeruput kopi yang baru aja dateng setelah dari jam dua siang tadi gua tunggu-tunggu. Latte, kopi yang paling sering gua pilih karena rasanya yang enak, menurut gua, tapi sekarang latte di cangkir merah ini jadi ga enak, karena buat gua jadi mikirin gimana caranya bisa ngerjain tugas yang udah deadline ini.

Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa gua bisa lupa, gua juga, kok bisa. Ini bukan tugas kuliah biasa yang dikasih setiap minggunya teman-teman, bukan, ini tugas dari mata kuliah yang tahun lalu gua gagal lulus. Karena tahun lalu yang gua dapet nilai D merah dan tau apa yang membuat gua jadi inget akan deadline ini? Ya, latte di cangkir merah ini.

Gua gak bawa laptop dan rumah gua jauh, di planet bernama Bekasi. Salah satu temen cewe gua yang dari tadi asik ngobrol tiba-tiba negor gua. Mungkin dia sadar ngeliat gua yang dari tadi hiperaktif usulin topik macem-macem buat diobrolin, sekarang malah diem aja kaya orang lagi nahan berak.

Dia nepok pundak gua dan nanya, “lo mules ya?” tanyanya random yang buat gua bingung jawabnya apa.

“Enggak kok, ini latte nya aneh rasanya, pait, gasuka gue,”

“Ah masa sih, kata temen gue justru latte-nya yang enak di kedai ini,”

Dia langsung ambil cangkir gua dan mulai nyicipin latte gua, di bagian yang sama saat gua nyruput latte-nya tadi.

“Ah enak kok ini, wangi juga kopinya, kayanya emang lo mules beneran deh Dil makanya jadi gaenak…hehehe,” komentarnya setelah nyruput kopi gua tadi.

Oiya, namanya Putri, temen kampus Rara, pacar gua. Putri emang orang yang ngajakin kita untuk nongkrong di tempat ini, katanya ini tempat temennya dia, baru satu bulan jalan, tempatnya emang cozy, playlist yang dimainin juga oke.

“Yeee Fadil, mentang-mentang Rara lagi ke WC, temennya diembat juga,” canda Lukman temen SMA gua.

Candaan Lukman ini ngebuat temen-temen gua yang lain jadi ngeliat ke arah gua dan Putri, dan mulai mengolok-olok gua.

“YEEEE Fadil rakus amat,” kata Ahmad.

“Iya tuh bener,” sahut Urip.

“Apaan sih lu pada, ini gua lagi complain sama Putri, kartanya di sini juaranya latte tapi masa latte gua ga enak yaudah deh abis itu Putri nyobain latte gua,” jawab gua memperjelas.

“Hehehe iya kok, begitu, abis Fadil keliatan kaya mules gitu jadi gua tanya aja kenapa,” sahut Putri dengan suara lembutnya.

“Gih sono nyet berak, tuh Rara udah keluar tuh, ntar lu cepirit di celana lagi,” Lukman menunjuk ke arah kamar mandi yang baru aja dipakai Rara.

“Engga lah, gila, lo kali ntar cepirit, gua tinggal pokoknya kalo lo cepirit.”

Rara keluar dari kamar mandi dan keheranan kenapa dia ditunjuk-tunjuk.

“KENAPA EHHH, ADA YANG ANEH YA SAMA GUE?” kata Rara panik.

“Iye tuh, ada sisanya di celana lo Ra,” jawab Urip usil.

Rara yang panik mulai teriak dan buat seisi kedai keheranan. Gua berdiri dan berjalan ke arah Rara.

“Gak ada apa-apa kok sayang, Urip cuma usil,”

“Beneran?”

Gua mengangguk.

“Yaudah duduk sana, aku ke kamar mandi dulu, mules,”

“Ihhh yaudah sana,” Jawab Rara sambil berjalan ke meja.

Gua masuk kamar mandi dan mulai ritual sambil buka chat sekalian cari siapa yang lagi online. Ternyata ada Sasa, junior gua di mata kuliah Gaya Bahasa, “apa sekalian gua minta tolong Sasa untuk kerjain tugas gua ya?” pikir gua dalam hati. Gua coba untuk chat Sasa.

“Sa, lagi sibuk gak? Hehe,” tanya gua.

“Ga kok bang, ada apa?” Sasa bertanya balik dalam waktu kurang dari satu menit.

“Hehehe…gak kok… Cuma mau nanya, paper gaya Bahasa lu udah beres?” tanya gua.

“Tumben amat nanya bang, dikit lagi sih, abis lumayan banyak jurnalnya,” jawaban yang tidak gua duga keluar dari jari seorang Sasa, mahasiswa paling rajin di angkatannya.

“Anjir…gimana nih…Sasa aja yang rajin belum beres, apalagi gua nanti ngerjain sendiri, malah ga kelar!” ucap gua dalam hati.

“Heheh iya nih Sa, lagi mentok juga, kali aja lu ada jurnal buat referensi, kan lo rajin tuh nyari-nyari jurnal,”

“Bisa aja lu bang, ada sih bang kalo lu mau, cuma Bahasa inggris, ngerti ga lu?” tanya Sasa mengejek.

Anjirrr…ngerti lah, emang gua sebego itu apa,” jawab gua sedikit kesal.

“Hehehehe, iya bang bercanda, yaudah nih bang gue kirimin,”

“Okeh, thanks Sa,” chat kita pun berakhir.

Sepintas gua teringat Joko, temen kampus seangkatan gua, dia udah lulus matkul ini tahun lalu. “Coba gua chat Joko deh,” gumam gua dalam hati.

“Jok, minta tolong dong, gua bayar nih per lembar cepe!”

Tanpa ada 10 detik, lebih cepet dari Sasa, Joko langsung bales.

“Sip, Gaya Bahasa 7 lembar, harus kumpul jam berapa?” jawab Joko sigap. Ajaib, dia bisa tau loh gua minta ngerjain matkul itu.

“Jam 6 Jok, aman?”

“Aman pak bos, nih rekening gua,” lagi-lagi ga ada 10 detik.

“Sip, gua lebihin nanti buat indomie, thanks ya Jok!” balas gua menutup chat.

Tenang, lega, ritual berjalan normal, deadline udah ga jadi beban pikiran, dan latte pasti jadi lebih nikmat. Pikir gua begitu saat itu.

Dari luar terdengar ketukan pintu dan suara perempuan. Suaranya samar karena terhalang pintu kamar mandi, jadi gua ga tau dia Rara, Putri, atau Mba-mba pengunjung yang ga sengaja nyium bau bom dari kamar mandi.

“Bentar mba bentarr!” jawab gua buru-buru.

Setelah mastiin bahwa ga ada jejak yang ketinggalan gua pun buka pintu kamar mandi. Ternyata yang dari tadi ngetok pintu itu Putri. Dengan wajah ga enak, Putri pun nanya ke gua,

“Lo gapapa dil? Lo mules bukan karena latte kan?” tanya Putri dengan wajah khawatir

“Engga kok Put, emang mules aja, kayanya gara-gara kebanyakan makan roti unyil deh tadi,” jawab gua menenangkan Putri.

“Syukur deh kalo gitu, yaudah lu dicariin tuh sama yang lain, gua juga pengen pake kamar mandinya,” Putri pun langsung masuk kamar mandi.

Dari depan kamar mandi gua ngeliat ke arah meja gua dan temen-temen, mereka lagi pada ngobrol seru, gak keliatan kaya lagi nungguin gua.

Akhirnya gua mutusin untuk pesen latte baru dan ngerokok di luar.


mrffdlh lahir di Jakarta dua puluh satu tahun lalu. maribergumam.blogspot.com adalah tempat curhat mrffdlh.

Tuan Fiksi

Oleh: Hilma Aufiana

Bagaimana kalau kita masuk ke dalam desa-desa L.M Montgomery? Kamu bisa jadi seorang petani sekaligus peternak sapi sedangkan aku di rumah memanggang roti. Aku akan menyambutmu pulang dengan senyuman dan menyiapkanmu makan malam. Setelah itu, kita bisa piknik di dekat danau dan memandangi angsa-angsa. Tetapi katamu, aku terlalu imajiner dan mendramatisir dunia. Katamu, berpikir realistis saja. Dunia fiksi bukan dunia nyata. Iya, kah? Aku ingin mencuri waktumu. Barang sejenak, barang lima menit di setiap jam. Aku ingin sekali kamu mengalihkan mata dari layar yang penuh kata-kata. Bukankah mataku lebih berkata dari jurnal yang kaubaca? Aku tahu, aku tahu, aku tahu, Tuan. Kamu perlu membaca jurnal ini itu, membuat esai sebegini sebegitu, menjawab soal ini dan anu. Tapi, tidak bisakah kita berselancar sejenak ke pantai-pantai yang diciptakan L.M Montgomery? Katamu, aku juga harus mengikuti caramu dengan menyibukkan diri sepanjang waktu. Biar tidak berpikiran aneh. Biar tidak berpikiran untuk menjadi Elizabeth Bennet dan menjadikanmu Mr. Darcy. Pride and Prejudice karya Jane Austen lagi. Katamu, aku terlalu meromantisasi. Dan di sini, untuk ke sekian kalinya aku menuliskanmu dalam sebuah puisi. Bisakah ini disebut puisi?

Di Bawah Enam Kaki – Deel 1

Oleh: Baihaqi Hakim

“Ke manakah kita akan pergi?” Hannetje bertanya.

Hutan yang mereka telusuri sungguh sangatlah lebat; bagai rambut yang tumbuh di atas kepala mereka. Flora dan fauna menghiasi hutan yang serasa tiada ujungnya. Hari-hari yang mereka habiskan di hutan tak dapat dihitung banyaknya. Basah hujan dan panas terik bergantian memandikan mereka. Perbekalan mereka masih sedikit berlimpah, terima kasih kepada keahlian melempar pisau Han dan pendengaran yang tajam milik Hans.

“Mencari tempat berlindung yang nyaman dan indah,” jawab Han untuk kesekian kalinya. Tak ada yang bisa dilakukannya atas ketidaktahuan si kecil Hannetje. Kemudian, giliran dia yang bertanya “Apa benar jika pistolku ini belum saatnya untuk dipakai?”

“Jangan dulu. Suara kerasnya dapat menarik hewan buas. Kau tahu itu,” jawaban dari Hans sangatlah jelas.

Tungkai-tungkai lemah mereka dipaksa untuk melangkah lebih jauh, menghindari sarang hewan buas lebih jauh lagi. Apa yang dilihat oleh mata mereka hanyalah sekumpulan kayu yang menjulang dari tanah, menumbuhkan dedaunan hijau, dan menghasilkan buah-buah yang kaya akan kenikmatan.

“Hei, apakah itu menara?” tanya Han, “kita bisa istirahat sejenak. Kurasa sebentar lagi kita akan mencapai tujuan.”

Menara berwarna putih yang dilihatnya menjulang di antara pepohonan. Mereka melangkah lebih cepat hingga keluar dari lebatnya pepohonan, menuju tanah luas. Mereka bertiga mencapai sebuah pondokan berwarna putih, menempel dengan menara. Di samping menara, sebuah kincir air berwarna coklat sedang diputar oleh air untuk menggiling bahan-bahan. Sebuah lentera tergantung di atap teras, memancarkan api kuning-merah.

“Kita bisa memasukinya,” ucap si kecil Hannetje.

“Apakah tiada orang yang menempatinya?” Hans bertanya. “Kita harus tetap berjaga.”

Han berjalan menghampiri pintu berkenop logam yang memisah daerah luar dan dalam bangunan. Dia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, memeriksa keadaan di sekitar. Setelah memastikannya, tangannya mulai memutar kenop—awalnya ke kiri dan kemudian ke kanan. Dengan tenaga kecil, Han mendorong pintu tersebut terbuka. Dua kursi dan sebuah meja bundar setinggi setengah badannya hadir di depan matanya, di sisi kiri ruangan. Sebuah piring tergeletak di atasnya, mewadahi dua ekor ikan yang telah dipanggang.

Han memberi isyarat kepada yang lainnya untuk masuk. Mereka bertiga masuk lebih dalam menuju ruangan. Selain meja dan kursi-kursi, ruangan itu mempunyai cerobong asap, lemari kaca, dan lukisan tiga anak kecil dengan satu senyum di tiap wajah mereka. Hannetje menghampiri lemari kaca di sisi kanan rumah. Lemari itu menyimpan banyak barang seperti piring, gelas, dan dua boneka kayu. Matanya terpaku kepada boneka kayu. Dua boneka berbentuk manusia itu memiliki kulit berwarna putih dengan hidung panjang. Boneka perempuan menggunakan baju berwarna biru kotak-kotak berkancing dengan rambut keriting berwarna coklat memanjang hingga bahu. Yang laki-laki memakai baju merah muda dengan tiga kancing di dekat leher. Rambutnya berwarna hitam.

Hans mendekati meja berpiring tersebut. Asap kecil masih membumbung dari tubuh sang ikan. Hans bersigap seketika, “Hey, ikan ini baru dibakar. Pemiliknya mesti baru saja membakarnya dan mungkin sedang keluar. Tetap waspada.”

Han yang berada di mulut pintu masih memandang seisi rumah, khususnya ruangan utama. Dia langsung bersiap, mengambil langkah siaga, memasang mata waspada. Hannetje masih terpaku pada barang yang di dalam lemari. Dia memanggil Hans dengan santai, layaknya anak kecil, “Tolong ambilkan boneka itu.” Jarinya menunjuk ke arah lemari.

Suara Hannetje mengagetkan dua lainnya. Jari telunjuk kanan Hans terangkat menyentuh bibirnya sendiri; mengisyaratkan untuk diam namun terlambat. Seorang lelaki paruh baya hadir, masuk melalui pintu depan. Tangannya menyentuh pundak kanan Han; membuatnya kaget seketika. Semua bertiga bersiaga. Reaksi ini ditanggapi oleh si lelaki dengan menggerakkan kedua tangannya, menandakan untuk tidak khawatir. Si lelaki berjalan menuju lemari yang sebelumya ditunjuk oleh Hannetje. Dia membukanya dan mengambil dua boneka kayu laki-laki dan perempuan itu. Di bagian belakang boneka, terdapat rongga untuk menggerakkan sang boneka. Sang lelaki adalah seorang ventriloquist, setidaknya itu yang Hans pikirkan.

“Maafkan kami telah membuat kalian terkejut,” sebuah suara keluar dari mulut, memperkenalkan diri. “Nama dia Siebren dan temanku ini Olivië. Aku sendiri adalah Pepin.”

Han, Hans, dan Hannetje mulai kebingungan. Sang lelaki tak menunjukkan pergerakan di mulutnya. Sang bonekalah yang berucap. Boneka laki-laki. “Beragam kisah telah membangun hidupnya pria aneh ini. Bukan begitu, Olivië?”

“Kau benar, Pepin,” sahut Olivië si boneka perempuan. “Siebren adalah seorang pembunuh mematikan sebelum dia hidup seperti ini.”

Masa lalu adalah alasan Siebren melakukannya. Melihat dirinya dan ibundanya diperlakukan tak pantas oleh ayahnya membuat hatinya terluka. Melihat sang ayah melempar ibunya ke dasar jurang membuat hatinya hancur tak bersisa. Melihat ayahnya tewas keracunan membuat sesimpul senyum di wajahnya. Hampir seluruh korbannya adalah para orang tua yang berlaku kejam kepada anaknya seperti menelantarkan dan menganiayanya. Kecermatan membuatnya selalu waspada akan segala hal. Kepandaiannya dalam mendengar desas-desus berhasil mengumpulkan para sasaran dengan rapih. Ketetapan membunuh datang jika si calon korban terbukti melakukannya. Tak ada hukuman yang dapat menghukumnya selain main hakim sendiri.

Di saat pencariannya masih gencar dilakukan, panti-panti asuhan mulai kedatangan sekumpulan karung berisi uang, uang yang banyak, dan beberapa anak yatim piatu korban kekerasan. Mereka pun mulai mengembangkan lembaga mereka seperti memperluas bangunan, berbisnis, dan bantuan pendidikan. Panti asuhan, yang dulu membutuhkan, sekarang menjadi yang dibutuhkan oleh orang-orang.

Hingga lima tahun lalu, Siebren bersembunyi di dalam pepohonan; seorang bangsawan dan istrinya sebagai sasaran selanjutnya. Mereka berdua dikawal oleh beberapa personil bersenjata. Pistol telah dikokang, dibidik, dan pelatuk siap ditarik oleh tangan kiri Siebren. Namun, sebuah peluru terlebih dulu melesat ke tangannya, melepas dan menjatuhkan pistolnya ke tanah. Dia melihat kesana-kemari, mencari si penembak. Tangan kanannya masih menahan rasa sakit di bagian kirinya. Suara tembakan menggelegar tadi menarik perhatian rombongan. Mereka segara menghampiri asal suara itu.

“Lihat apa yang kita dapat, Tuanku,” saut salah satu pengawal. “Sang hantu.”

“Penyihir, kau tahu apa yang harus kau lakukan,” perintah sang bangsawan.

Satu di antara para pengawal maju, berjalan dengan santai. Rapalan mantra pun dimulai.

BERSAMBUNG

Flying Dutchman, Tokoh Kartun Yang Terinspirasi dari Mitos Arwah Gentayangan Pelaut Belanda

Oleh: Ozora Noor, mahasiswa Sastra Belanda 2020

Spongebob SquarePants, siapa yang tidak kenal dengan serial kartun yang mengisahkan petualangan spons kuning di kota fiksi bawah laut bernama Bikini Bottom. Kartun yang turut menemani masa kecil kita ini memiliki banyak karakter di dalamnya, salah satunya adalah Flying Dutchman. Tahukah kamu, karakter yang digambarkan sebagai arwah pelaut berwarna hijau, memancarkan cahaya hijau, dan melayang ini diambil dari kisah legenda pelaut Belanda sungguhan? Yuk, simak kisah dibalik karakter hantu pelaut yang tergolong humoris ini!

Dikutip dari screenrant.com, karakter Flying Dutchman pertama kali muncul di layar kaca pada tahun 1999 dalam serial kartun Spongebob SquarePants episode “Squidward the Unfriendly Ghost”. Dalam episode tersebut, tidak dikisahkan lebih lanjut terkait bagaimana kemunculan karakter hantu pelaut hijau yang melayang ini, namun yang menarik adalah kita bisa mengetahuinya melalui cerita legenda pelaut Belanda yang bernama sama, The Flying Dutchman.

Legenda The Flying Dutchman ini tidak hanya digambarkan pada serial kartun Spongebob SquarePants, namun juga dalam Film Pirates of the Caribbean produksi Walt Disney Pictures. Banyak versi yang mengisahkan Flying Dutchman (De Vliegende Hollander) ini. Nama Flying Dutchman sendiri bukanlah merujuk kepada nama seseorang melainkan nama kapal.

Menurut Agnes Andeweg, profesor sastra di University College Utrecht, mitos ini diperkirakan muncul pada akhir abad ke-18, era kemunduran maritim Belanda dan bangkrutnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Konon, dikisahkan bahwa De Vliegende Hollander adalah kapal Belanda yang karam di Tanjung Harapan ketika hendak ingin berlayar ke pulau Jawa. Seluruh kru kapal beserta sang kapten, Van Der Decken, tidak selamat dalam peristiwa mengenaskan itu.

Menurut versi lain, dikutip dari Blackwood’s Edinburgh Magazine edisi Mei 1821, dikarenakan arwah kapten De Vliegende Hollander yang tidak terima atas kematiannya, ia menulis surat untuk orang-orang yang sudah mati dan dikirim ke kapal-kapal lain. Barangsiapa yang menerima surat tersebut, Van Der Decken bersumpah untuk tetap mengitari Tanjung Harapan tanpa berlabuh di manapun, meskipun itu di akhirat untuk menebar kemalangan bagi siapapun yang menerima suratnya.

“At the heart of every legend, there is a grain of truth,” Michael Scott, dalam bukunya The Alchemyst

Legenda Flying Dutchman sangat menarik untuk dibahas. Meskipun tidak ada bukti literatur yang jelas mengenai keberadaannya yang nyata , kisah-kisah hantu laut yang entah itu sungguhan atau hanyalah fenomena fatamorgana yang dialami pelaut pada zaman itu tentu masih menyisakan rasa penasaran untuk kita semua.

Daftar Pustaka:

Andeweg, Agnes. (2015). Manifestations of the Flying Dutchman: On Materializing Ghosts and (Not) Remembering the Colonial Past. Cultural History. 4. 187-205.10.3366/cult.2015.0093.

Tyler, A. (2021, February 13). SpongeBob SquarePants: The Flying Dutchman’s Backstory Explained. Retrieved November 25, 2021, from ScreenRant website: https://screenrant.com/spongebob-squarepants-flying-dutchman-ship-history-legend-explained/

Kisah Flying Dutchman, Kapal Era VOC yang Tak Pernah Bisa Berlabuh – Semua Halaman – National Geographic. (2021). Retrieved November 25, 2021, from National Geographic website: https://nationalgeographic.grid.id/read/132868673/kisah-flying-dutchman-kapal-era-voc-yang-tak-pernah-bisa-berlabuh?page=all

Flying Dutchman. (2021). Retrieved November 25, 2021, from SpongeBob SquarePants Wiki website: https://spongebob.fandom.com/id/wiki/Flying_Dutchman

“Palsu”

Oleh: Nastiti

.

Genggaman hangat darimu malam itu

Kedua matamu menatapku, semuanya baik-baik saja?

Terpancar senyumku kepadamu

Bukanlah senyuman tulen

.

Ragu mengetuk hatimu, benarkah?

Tawa kecil ku layangkan

Kau memeluk ku dengan erat

Seraya membisikkan ucapan syukur kepada-Nya

.

Sudahlah, tak perlu memberi hati pada diri ini

Biarkan aku tersedu dalam diam

Hilang dalam kesunyian

Aku baik-baik saja