Door: tiramissusweet
Kala itu aku gusar. Ayah, mengapa aku berbeda dari yang lainnya? Ketika di sekolah, teman-temanku sangat pandai merangkai aksara mereka, mengapa aku tidak? Hal itulah yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Orang-orang bilang aku pandai bicara dan cerewet. Tapi ketika aku dihadapkan dengan aksara-aksara itu, gelisah bukan main badan dan pikiranku ini. Entah kenapa begitu, aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi olehku dengan aksara-aksara itu, pusing aku dibuatnya.
Aku pikir hanya di sekolah saja aku bertemu dengan aksara itu, kagetnya aku melihat ayah dan ibu dengan bahagianya memberiku buku-buku dongeng bergambar itu. Mereka menyuruhku membacanya. Dengan lantang kuceritakan kisah Si Kancil. Senang sekali mereka mendengarkan dongengku. Ups, tapiā¦ Ayah, maafkan aku. Ibu, maafkan aku. Aku telah berbohong pada kalian. Sesungguhnya aku tidak membaca aksara-aksara yang ada di buku dongeng itu. Aku berbohong, karena aku hanya mengarang cerita dari apa yang kulihat di gambar yang ada di buku dongeng.
Orangtuaku semakin rajin memberiku buku-buku bacaan seperti buku kisah-kisah para nabi dan buku-buku yang minim akan gambar. Kebohongan ini terus berlanjut sampai pada akhirnya ayah dan ibu curiga karena dongeng yang mereka baca di buku tidak sama seperti apa yang kuceritakan. Dari kejadian ini, mereka mengira aku menderita disleksia. Disleksia adalah gangguan dalam proses belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Penderita disleksia akan kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang diucapkan, dan mengubahnya menjadi huruf atau kalimat.
Satu tahun sudah kulewati menjadi siswa sekolah dasar, tetapi ada kabar buruk ketika ayah pergi ke sekolah untuk mengambil rapor. Wali kelasku bilang jika aku tetap berada di sekolah ini, aku tidak bisa naik kelas, tetapi dia punya kebijakan lain. Aku bisa naik kelas dengan syarat pindah ke sekolah lain. Berita ini membuatku dan orangtuaku sedih perkara aku tidak bisa membaca aksara. Akhirnya aku naik kelas dengan konsekuensi pindah sekolah. Di sekolah baru, aku senang karena punya lebih banyak teman.
Di rumah, tanpa lelahnya Ayah selalu mengajariku merangkai aksara-aksara itu.
Tahun kedua kulewati sudah. Teman-temanku membantuku pada saat menjawab soal ketika ujian kenaikan kelas. Beruntungnya aku berteman dengan mereka.
Memasuki tahun ketiga di sekolah dasar, membuatku semakin gusar karena belum juga aku bisa membaca aksara-aksara itu dengan mahir. Aku iri dengan teman-temanku. Tapi rupanya Tuhan menjawab doa ibu dan ayahku. Tuhan mengirimkan ibu peri yang dapat mengajariku membaca, menulis dan memahami aksara dengan telaten dan sabar. Ia adalah wali kelasku. Berkat beliau, aku dapat membaca, menulis, dan memahami aksara dengan baik. Dan tentunya juga berkat kedua orangtuaku. Tanpa mereka semua tak akan mungkin aku bisa merangkai sebuah aksara indah seperti sekarang ini.
Foto door Annie Spratt op Unsplash