Oleh: Hilma Aufiana
Bagaimana kalau kita masuk ke dalam desa-desa L.M Montgomery? Kamu bisa jadi seorang petani sekaligus peternak sapi sedangkan aku di rumah memanggang roti. Aku akan menyambutmu pulang dengan senyuman dan menyiapkanmu makan malam. Setelah itu, kita bisa piknik di dekat danau dan memandangi angsa-angsa. Tetapi katamu, aku terlalu imajiner dan mendramatisir dunia. Katamu, berpikir realistis saja. Dunia fiksi bukan dunia nyata. Iya, kah? Aku ingin mencuri waktumu. Barang sejenak, barang lima menit di setiap jam. Aku ingin sekali kamu mengalihkan mata dari layar yang penuh kata-kata. Bukankah mataku lebih berkata dari jurnal yang kaubaca? Aku tahu, aku tahu, aku tahu, Tuan. Kamu perlu membaca jurnal ini itu, membuat esai sebegini sebegitu, menjawab soal ini dan anu. Tapi, tidak bisakah kita berselancar sejenak ke pantai-pantai yang diciptakan L.M Montgomery? Katamu, aku juga harus mengikuti caramu dengan menyibukkan diri sepanjang waktu. Biar tidak berpikiran aneh. Biar tidak berpikiran untuk menjadi Elizabeth Bennet dan menjadikanmu Mr. Darcy. Pride and Prejudice karya Jane Austen lagi. Katamu, aku terlalu meromantisasi. Dan di sini, untuk ke sekian kalinya aku menuliskanmu dalam sebuah puisi. Bisakah ini disebut puisi?