Tuan Fiksi

Oleh: Hilma Aufiana

Bagaimana kalau kita masuk ke dalam desa-desa L.M Montgomery? Kamu bisa jadi seorang petani sekaligus peternak sapi sedangkan aku di rumah memanggang roti. Aku akan menyambutmu pulang dengan senyuman dan menyiapkanmu makan malam. Setelah itu, kita bisa piknik di dekat danau dan memandangi angsa-angsa. Tetapi katamu, aku terlalu imajiner dan mendramatisir dunia. Katamu, berpikir realistis saja. Dunia fiksi bukan dunia nyata. Iya, kah? Aku ingin mencuri waktumu. Barang sejenak, barang lima menit di setiap jam. Aku ingin sekali kamu mengalihkan mata dari layar yang penuh kata-kata. Bukankah mataku lebih berkata dari jurnal yang kaubaca? Aku tahu, aku tahu, aku tahu, Tuan. Kamu perlu membaca jurnal ini itu, membuat esai sebegini sebegitu, menjawab soal ini dan anu. Tapi, tidak bisakah kita berselancar sejenak ke pantai-pantai yang diciptakan L.M Montgomery? Katamu, aku juga harus mengikuti caramu dengan menyibukkan diri sepanjang waktu. Biar tidak berpikiran aneh. Biar tidak berpikiran untuk menjadi Elizabeth Bennet dan menjadikanmu Mr. Darcy. Pride and Prejudice karya Jane Austen lagi. Katamu, aku terlalu meromantisasi. Dan di sini, untuk ke sekian kalinya aku menuliskanmu dalam sebuah puisi. Bisakah ini disebut puisi?

“Palsu”

Oleh: Nastiti

.

Genggaman hangat darimu malam itu

Kedua matamu menatapku, semuanya baik-baik saja?

Terpancar senyumku kepadamu

Bukanlah senyuman tulen

.

Ragu mengetuk hatimu, benarkah?

Tawa kecil ku layangkan

Kau memeluk ku dengan erat

Seraya membisikkan ucapan syukur kepada-Nya

.

Sudahlah, tak perlu memberi hati pada diri ini

Biarkan aku tersedu dalam diam

Hilang dalam kesunyian

Aku baik-baik saja

JAM SEMBILAN

Oleh: Baihaqi

Sarayu jam sembilan

Terjadi bisa kapan-kapan

Awan rahayu halang terik surya

Napak tilas jalan kerikil

Tiada usil lagi dekil

Syahdu ciut burung

Dalam sedap kaldu

Tika tambah bumbu

Purnama paripurna penuh

Tersimpul afsun dalam senyum

Adiwarna hiasi langit

Adisurya terangi alam

Adikasih cipta cinta

Adirasa hangatkan indra

Adikuasa kreasi karya

A Despair of a Woman.

She was no longer a hope, just like the prayer stated in her name.

The sky mourns over the void and sorrow that she has been facing alone.

On Sunday, she walked towards the church in the pouring rain.

Her decision to surrender led her to join the emptiness within the church

to utters her last pray.

The despondency told her to kneel down in fear.

“Good God, offer me a deathless death. I am no longer a servant.

Dear God, let me give you my life and my hopeless soul.”

Amen.

–kansha.

-ongetiteld-

Door: —thealtairist

Kak, kalau semisal aku sedang sedih lalu tiba-tiba aku merasa ditenangkan; aku merasa dipeluk oleh seseorang dan tiba-tiba air mataku seolah diusir menghilang, itu bisa jadi berasal dari doa-doamu yang seringkali kamu repot-repot kirimkan kepada aku.


Kak, kalau semisal aku sedang jatuh tersungkur, ditertawakan oleh seisi dunia karena cara kerjaku yang berantakan dan tiba-tiba tanganku seolah ditarik untuk kembali berdiri tegak dan tubuhku seolah-olah kembali dikuatkan, baju-bajuku serasa dibersihkan dari debu-debu yang barusan— dengan kurang ajar— menempel, oleh tangan seseorang, itu bisa jadi berasal dari doa-doamu yang kamu kirimkan padaku lewat embusan napasmu menjelang kantukmu. 


Kak, kalau semisal aku sedang terluka parah, bahkan tulang-belulangku hampir sepenuhnya patah, tetapi tiba-tiba aku disembuhkan dari luka-lukanya hingga sembuh sepenuhnya, tulang-tulangku kemudian disambung lagi hingga utuh sempurna; bisa jadi juga, itu berasal dari doa-doamu, yang kamu kubur dalam-dalam, lalu kamu tanam atas namaku. 
Kak, kalau semisal aku sedang mimpi buruk, lalu tiba-tiba sesosok malaikat baik mendatangi aku dan mengusir semua kejahatan yang mau membunuh aku melalui tidurku, yang kemudian menolongku kembali ke dunia ini pada esok paginya; bisa jadi juga, itu adalah doamu yang lagi-lagi Tuhan kabulkan untuk aku. 


Kak, terima kasih telah repot-repot untuk menebar semua doa-doamu untuk menemaniku di mana pun aku ada, di tempat-tempat di mana aku akan pergi, di tempat-tempat di mana aku akan datang, terima kasih telah menyelipkan setidaknya satu buah doa terkhususkan aku. 
Kak, terima kasih telah mencoba untuk menjadi penyelamatku dari jarak yang jauh, telah menjadi tangan kanan malaikat yang mungkin tak bisa menjagaku setiap saat, setiap waktu, melalui doa—doamu. 
Semoga saja, nantinya, Tuhan tidak akan bosan dan segera mengabulkan, apabila aku menyebut namamu dalam segala senangku, dalam segala sedihku, dan dalam segala lelahku. 


— The Altairist
also the one who really adores your presence.

Foto door Anna Sullivan op Unsplash

Ketersembunyian

 Door: Ghozi Djayu Kumolo 

Pukul satu dini hari, tak ayal lagi, bayangmu kembali tanpa pesan

Rongga-rongga yang dipenuhi debu ini kau tiup dengan udara hangat khas mulutmu

Kau menyetel musik, menggambar hati, dan menari dengan riang, sangat riang

Jarum jam bergerak mengetuk angka empat, bayangmu banyak berkata yang dulu tidak sempat

Mimikmu yang tadinya di atas surga, kini turun dengan sesal

Dengan hormonmu, kau menangis sesak, tetapi tidak dengan aku yang mulai membiru

Seisi jam kini terbias oleh mentari, bayangmu dilanggar oleh sinarnya

Dirimu mengerjap-ngerjap lalu menghilang, entah apa yang dirimu ingin

Kau tinggalkan aku dalam ketersembunyian 

Foto door Josh Nuttall op Unsplash