Door: sonnet gagal
Kebebasan merupakan salah satu hak mutlak yang dimiliki warga negara. Salah satu wujudnya ialah kebebasan berekspresi melalui berbagai media seperti karya sastra, film, play atau pementasan teater, lukisan, karya musik, dan lainnya. Melalui karya, kita dapat menyalurkan cara pandang dan opini yang terbalut dengan sentuhan estetika. Sayangnya, pembngkaman karya masih saja terjadi di negeri ini.
Pengekangan terhadap karya-karya ekspresif dianggap lazim oleh sebagian besar khalayak, terlebih para birokrat yang tak sudi dikritik bila sebuah karya yang menyindir mereka. Pembakaran buku-buku yang dianggap berselimut ‘idealisme-idealisme lain’ berdasarkan asumsi bahwa berpotensi akan menggiring seluruh masyarakat. Film lokal acapkali diboikot perihal mengangkat isu yang dipandang “tabu dan kebarat-baratan hingga tak pantas untuk dipertontokan”, tanpa melihat narasi, sinematografi, ataupun pesannya. Lembaga sensor menyensor secara berlebihan, seperti pengkaburan objek hingga pemotongan adegan yang tak perlu disensor. Musisi yang vokal mendukung aksi-aksi kemanusiaan atau mengkritik pemerintah dimasukkan ke dalam bui dengan dalih pemeriksaan formalitas saja. Lukisan dan instalasi seni diturunkan karena terlihat menggiring masyarakat untuk memeluk agama tertentu, atau bahkan karena dianggap terlalu vulgar dan tak pantas untuk dipajang saja.
Kasus-kasus tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan. Pemerintah dan setiap lapisan masyarakat seharusnya menerima bentuk-bentuk ekspresi yang ada, selama karya tersebut tidak merugikan pihak lain. Permasalahan ini telah terjadi di Eropa sejak zaman renaisans dan tak lagi menjadi masalah utama (meski mungkin saja terdapat beberapa permasalahan yang sama), namun kita tetap berkutat dengan problematika ini sejak tahun 60-an. Karya seseorang yang orisinil selayaknya diapresiasi, bukan dihapuskan.