-ongetiteld-

Door: —thealtairist

Kak, kalau semisal aku sedang sedih lalu tiba-tiba aku merasa ditenangkan; aku merasa dipeluk oleh seseorang dan tiba-tiba air mataku seolah diusir menghilang, itu bisa jadi berasal dari doa-doamu yang seringkali kamu repot-repot kirimkan kepada aku.


Kak, kalau semisal aku sedang jatuh tersungkur, ditertawakan oleh seisi dunia karena cara kerjaku yang berantakan dan tiba-tiba tanganku seolah ditarik untuk kembali berdiri tegak dan tubuhku seolah-olah kembali dikuatkan, baju-bajuku serasa dibersihkan dari debu-debu yang barusan— dengan kurang ajar— menempel, oleh tangan seseorang, itu bisa jadi berasal dari doa-doamu yang kamu kirimkan padaku lewat embusan napasmu menjelang kantukmu. 


Kak, kalau semisal aku sedang terluka parah, bahkan tulang-belulangku hampir sepenuhnya patah, tetapi tiba-tiba aku disembuhkan dari luka-lukanya hingga sembuh sepenuhnya, tulang-tulangku kemudian disambung lagi hingga utuh sempurna; bisa jadi juga, itu berasal dari doa-doamu, yang kamu kubur dalam-dalam, lalu kamu tanam atas namaku. 
Kak, kalau semisal aku sedang mimpi buruk, lalu tiba-tiba sesosok malaikat baik mendatangi aku dan mengusir semua kejahatan yang mau membunuh aku melalui tidurku, yang kemudian menolongku kembali ke dunia ini pada esok paginya; bisa jadi juga, itu adalah doamu yang lagi-lagi Tuhan kabulkan untuk aku. 


Kak, terima kasih telah repot-repot untuk menebar semua doa-doamu untuk menemaniku di mana pun aku ada, di tempat-tempat di mana aku akan pergi, di tempat-tempat di mana aku akan datang, terima kasih telah menyelipkan setidaknya satu buah doa terkhususkan aku. 
Kak, terima kasih telah mencoba untuk menjadi penyelamatku dari jarak yang jauh, telah menjadi tangan kanan malaikat yang mungkin tak bisa menjagaku setiap saat, setiap waktu, melalui doa—doamu. 
Semoga saja, nantinya, Tuhan tidak akan bosan dan segera mengabulkan, apabila aku menyebut namamu dalam segala senangku, dalam segala sedihku, dan dalam segala lelahku. 


— The Altairist
also the one who really adores your presence.

Foto door Anna Sullivan op Unsplash

Ketersembunyian

 Door: Ghozi Djayu Kumolo 

Pukul satu dini hari, tak ayal lagi, bayangmu kembali tanpa pesan

Rongga-rongga yang dipenuhi debu ini kau tiup dengan udara hangat khas mulutmu

Kau menyetel musik, menggambar hati, dan menari dengan riang, sangat riang

Jarum jam bergerak mengetuk angka empat, bayangmu banyak berkata yang dulu tidak sempat

Mimikmu yang tadinya di atas surga, kini turun dengan sesal

Dengan hormonmu, kau menangis sesak, tetapi tidak dengan aku yang mulai membiru

Seisi jam kini terbias oleh mentari, bayangmu dilanggar oleh sinarnya

Dirimu mengerjap-ngerjap lalu menghilang, entah apa yang dirimu ingin

Kau tinggalkan aku dalam ketersembunyian 

Foto door Josh Nuttall op Unsplash

ANTON

Door: Eleanor

“Apa ketakutan terbesar lu?”

Sunyi. Seketika Mirna terdiam dalam lamunan. Ketakukan terbesar? Semua orang tahu, Mirna itu Si Pemberani. Mirna tidak memiliki rasa takut. Tidak seperti Anton—lawan bicaranya pada saat ini—yang takut pada kecoa, Mirna sama sekali tidak takut akan hal itu. Mirna juga heran, mengapa Anton takut pada kecoa? Kecoa tidak menggigit, tidak berbisa, tidaklah buas, tidak juga memiliki gigi taring yang super duper menakutkan. Apa seramnya seekor kecoa? Bahkan, menurut Anton, kecoa berubah menjadi sangat duper dan super menyeramkan saat terbang. Bukan hanya Anton yang takut kecoa dan beranggapan kecoa terbang itu menyeramkan. Teman-teman Mirna yang lain juga ada yang merasakan hal yang sama seperti Anton.

Teringat Mirna pada kejadian satu minggu yang lalu. Anton dan teman-teman kelas Mirna dihebohkan oleh kecoa yang tiba-tiba memasuki ruang kelas. Entah dari mana pula asalnya, Mirna juga bingung. Yang jelas, kehadiran kecoa itu cukup membuat satu kelas geger dan suasana kelas menjadi tidak kondusif. Semua berawal dari teriakan Karin yang duduk paling dekat dengan pintu depan kelas.

“AAA! KECOA!” Teriakannya Karin yang refleks membuat perhatian satu kelas beralih padanya. Karin mengangkat kakinya ke atas kursi dan memeluk Nur teman sebangkunya.

Seakan tidak merasa bersalah, kecoa tersebut terbang ke sana kemari, hinggap di satu kepala ke kepala yang lain. Anton—yang dikenal cukup berwibawa—juga menjadi korban. Kecoa tersebut hinggap di kepala Anton yang membuat Anton teriak ketakutan. Lenyaplah sudah wibawa itu. Satu kelas yang tadinya geger justru malah tertawa melihat Anton. Mirna juga tak kuasa menahan tawa melihat muka ketakutan Anton. Tak tega melihat Anton menjadi bahan tertawaan kelas, Mirna mengambil kecoa yang ada di kepala Anton. Yak! Seisi kelas merasa takjub melihat keberanian Mirna dan muka datar Mirna. Mirna terlihat sama sekali seperti tidak ada beban memegang seekor kecoa. Tak lupa, Mirna meminta izin pada Ibu Munir untuk membuang kecoa tersebut.

Sebelum membuang kecoa tersebut ke dalam tong sampah, Mirna perhatikan lamat-lamat kecoa tersebut. Mengapa orang takut sama lu, ya? Mirna bertanya-tanya dalam hati.

Tersadar dari lamunan, bukan malah menjawab pertanyaan Anton, Mirna malah balik bertanya.

“Kenapa lu takut sama kecoa?”

Anton memutar bola matanya, terlihat kesal akan respons Mirna. “Lah, malah balik nanya.”

“Gue bingung mau jawab apa.”

“Lu ga punya ketakutan sama sesuatu gitu? Ketakutan itu hal yang lumrah. Punya ketakukan bukan berarti lu orang yang lemah.”

Mirna merasa seperti tersindir akan perkataan Anton. Mirna memang bukan orang yang ekspresif. Mirna tidak pernah mengungkapkan dan menunjukkan emosi dan perasaannya ke orang lain. Mirna dikenal dengan orang yang cuek dan datar. Selain itu, teman-teman Mirna selalu menjuluki Mirna Si Pemberani. Mirna tidak takut pada seekor hewanpun. Mirna juga berani dalam mengambil resiko. Mirna tidak takut pada ulangan, ujian dan pembagian rapor. Mirnapun tidak takut dalam presentasi, tampil atau mengemukaan pendapat di depan kelas.

Barangkali selama ini Mirna beranggapan bahwa ketakutan adalah kekurangan. Mirna sejak kecil sudah didoktrin akan hal itu. Orang tua Mirna menekankan untuk tidak boleh merasa takut. Orang yang penakut adalah orang yang lemah. Rasa takut hanya menghambat seseorang untuk berkembang. Tidak ada yang perlu ditakutkan dalam hidup. Jadilah hingga kini, Mirna selalu mengesampingkan rasa dan mengutamakan logika.

Akan tetapi, dibalik itu semua, Mirna tidak luput dari mimpi-mimpi buruk yang kerap sekali dua kali mampir dalam tidurnya. Hal ini membuat Mirna terkadang overthink dan sedikit parno. Mirna selalu memiliki cemas berlebih ketika ingin tidur. Enggan bila sewaktu-waktu ia terlarut dalam tidur, mimpi-mimpi buruk itu kembali dan merusak istirahatnya. Tidak ada yang mengetahui hal ini. Bahkan, Ayah dan Ibu Mirna sekalipun. Menurut Mirna, perasaan ini aneh dan tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Tapi, tidak ada salahnya kan Mirna bertukar pikiran akan hal ini dengan Anton?

“Gue gatau, sih. Tapi, gua pengen banget, setiap malem, ngga usah mimpi.”

“Lah? Kenapa? Gue malah pengen mimpi tiap malem. Masa tiap tidur gua ngga ada mimpi apapun? Hampa banget. Kosong gitu.”

“Um, gue males mimpi. Abisnya, tiap gue mimpi, pasti mimpi buruk terus.”

Anton terdiam. Ini pertama kalinya dalam sejarah, Mirna mengungkapkan hal yang tidak lazim alias Mirna tidak pernah seterbuka ini.

“Mimpi buruk?”

“Iya, mimpi buruk.”

“Mimpi buruk dalam artian ‘demit’, gitu?

“Bukan.”

“Jadi?” Anton tidak kuasa menahan rasa penasarannya.

“Gue selalu mimpi buruk. Mimpi kehilangan orang-orang yang gue sayang.” Mata Mirna mulai berkaca-kaca. “Kadang, gue takut kalo sewaktu-waktu, mimpi gue kejadian. Gue juga takut dan selalu overthink tiap malem. “Gimana misalnya hari ini gue mimpi buruk lagi?” Gue selalu mengesampingkan perasaan ini dengan logika yang gue punya. Karena itu gue selalu beranggapan kalo rasa takut itu kelemahan.” Anton speechless melihat Mirna seperti ini. Ini pertama kalinya Mirna menunjukkan emosinya di depan orang lain. Mirna juga bingung kenapa dia justru malah sedih dan menangis? Tidak, tidak! Mirna bukanlah seorang yang cengeng. Mirna dengan cepat mengusap air mata sebelum jatuh membasahi pipinya.

“Mirna, lu harus tau, it’s okay to not be okay.” Benar. Harusnya Mirna tidak perlu sekeras ini ke diri sendiri. “Takut kehilangan itu normal. Semua orang pasti punya rasa takut ini, kok! Nyatanya, emang ga ada yang abadi di dunia ini, Mir.” Anton berusaha menenangkan.

“Kalo menurut lu rasa takut itu kelemahan, lu ga salah, kok! Tapi, lu juga harus tau ketakutan yang lu punya juga bisa dijadikan kelebihan. Contonya, karena rasa takut yang lu punya, lu jadi lebih aware ‘kan tentang masa depan?”

***

Anton benar. Ketakutan tidaklah seburuk itu. Semua tergantung dari sudut pandang yang mana kita memandang. Mirna tersenyum memandang makam Anton yang ditutupi rerumputan hijau nan rapih tersebut. Barangkali percakapan tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya dalam hidup Mirna, mungkin hingga kini ia masih belum bisa menerima kepergian Anton setahun yang lalu. Mirna meletakkan buket bunga yang dibelinya di perjalanan tadi di atas makam Anton.

Sampai sini dulu kunjungan gue hari ini. Terima kasih, Anton!

Foto door NordWood Themes op Unsplash

Suatu Hari di Tahun 2021

Door: Ni Putu Diah Asyanti 

Saat ini pukul enam pagi. Udara yang masih sejuk dan sedikit berembun membuat pagi ini lebih terasa segar. Di tengah-tengah keheningan pagi, terdengar deru mesin motor yang melintas di jalan yang lengang, nampak berburu untuk memulai hari pada tujuan masing-masing. Selain itu, terdengar ibu-ibu kompleks yang saling menyapa dengan lisan yang tertutup masker. Sebelah tangan mereka menjinjing plastik berisi sayuran yang nampaknya siap untuk dimasak. Berbagai hal dapat menjadi bahan perbincangan ibu-ibu yang saling sapa di tengah jalan ini, mulai dari keluarga, tetangga, kuliner, bahkan sampai episode terbaru keluaran sinetron terkenal. Aku mengulum senyum, dalam benak, kudoakan ibu-ibu ini agar selalu dalam lindungan Tuhan.

Jika berbelok ke arah kiri, kita akan menjumpai SD Madrasah yang di depannya terdapat satu keluarga (iya, satu keluarga! Karena ayah, ibu, dan seorang anaknya berada di sana) yang berjualan nasi uduk, gorengan yang masih hangat, serta lontong sayur. Sebelum pandemi menguasai dunia, dagangan mereka biasanya sudah habis pukul setengah delapan pagi. Adapun dagangan dari keluarga itu habis diburu oleh murid SD yang belum sempat sarapan, orang tua yang mengantar anaknya, guru-guru yang ingin mencari sarapan praktis, sampai mahasiswa yang meminta pesanannya dibungkus agar bisa dimakan sambil membaca bahan kuliah. Namun akhir-akhir ini, keluarga kecil penjual sarapan pagi ini harus menunggu sedikit lebih lama hingga dagangan mereka ludes terjual. 

Usaha sarapan pagi milik keluarga ini memiliki kompetitor. Berdiri sebuah warkop 24 jam tepat di sebelah SD Madrasah. Warkop ini biasanya dijadikan tempat nongkrong bagi anak SD yang sedang ingin minum berbagai jenis minuman instan, tukang dagang keliling yang singgah untuk memesan kopi, hingga mahasiswa yang ingin memakan mie dalam berbagai bentuk: dari rebus, goreng, sampai dicampur dengan nasi atau biasa disebut magelangan. Namun, saat pandemi ini, mereka tidak buka 24 jam dan hanya buka saat sore hingga malam hari. 

Entah kapan pandemi ini berakhir, tapi, aku benar-benar rindu pagi hari sebelum pandemi. Cuaca yang jauh lebih segar ini tak bisa menggantikan suasana hari-hari normal sebelum pandemi, waktu di mana aku bisa melihat anak-anak SD bermain dengan rekan sebaya mereka, ibu-ibu dengan senyum merekah yang berbincang tanpa penutup mulut serta tanpa berjaga jarak karena saling waspada, hingga sesama mahasiswa yang berjalan dengan langkah lebar menuju kampus tercinta.

Andai bisa kembali.

Foto door Fang-Wei Lin op Unsplash