Untuk Ratu

Door: Helianthus

Seperti surat sebelumnya, aku akan mengabarimu perkembangan Arka. Aku harus meminta maaf karena tak sempat berkirim surat selama beberapa minggu. Dia sudah lancar berjalan sekarang, meskipun memang masih kurang terampil berlari. Hobinya berubah dari mengoceh tidak jelas menjadi mencorat-coret meja kerja. Aku selalu siaga membawa krayon dan gulungan kertas besar untuk jadi media kreativitas Arka, tetapi memang hal-hal yang dilarang itu lebih menarik. Mau tidak mau kewajiban menyediakan lap dan larutan pembersih membuat tasku menjadi makin besar saja sekarang.

Aku pernah mencoba menitipkan Arka di daycare, dan sepertinya Arka juga suka. Sayang, kondisiku saat ini belum memungkinkan untuk selalu melakukan hal itu. Kalau Arka sudah bisa ke kamar mandi sendiri, mungkin pengeluaran untuk popok dapat dialihkan untuk menitipkan dia. Lagipula, aku merasa kurang enak membawa Arka ke kantor, walau yang lain merasa tidak keberatan atau bahkan menawarkan diri untuk bermain dengan Arka. 

Sebenarnya bukan hanya aku yang tiba di kantor dengan membawa anak. Tetapi pemandangan seorang pria membaca setumpuk komik sambil menggendong batita harus diakui jarang ditemukan di belahan dunia mana pun.

Pada hari surat ini ditulis, Arka bangun lebih pagi daripada biasanya. Dia sedang suka jus stroberi, jadi pagi-pagi dia membantuku memasukkan stroberi ke dalam blender. Tenang, tentu saja di bawah pengawasanku. Aku meminta Arka menutup telinga sebelum menyalakan blender, tetapi sebelum mulai bicara saja dia sudah otomatis meletakkan tangan di sisi wajah setelah blender ditutup. Oh ya, Arka sekarang tidak mau berhenti mengulang-ulang nama dua jenis buah; icang dan tobeli, sekaligus sukses membangunkanku pagi ini dengan naik ke kasur, menampar-nampar pipiku sambil berteriak tobeli. Kalau tidak dituruti, tamparannya menjadi agak ganas.

Sepertinya mirip sekali denganmu, Ratu.

Setelah minum jus stroberi dan sarapan, kami mandi lalu berganti baju. Nah, di sini mulai agak rumit. Arka sudah cukup besar untuk merasa tidak nyaman memakai popok, tapi aku tidak bisa mengantarnya ke kamar mandi setiap kali dia ingin pipis. Hari ini dia agak rewel masalah memakai popok, tapi untungnya tidak ada kesulitan setelah semua terpasang. Malah, Arka sudah berusaha menyisir rambutnya sendiri meskipun aku harus mencegahnya memukul diri sendiri dengan sisir.

Begitulah kira-kira rutinitas kami setiap pagi sebelum berangkat. Sampai di kantor, duduk, dan mulai bekerja. Aku telah berusaha sangat keras agar Arka bisa duduk manis, tapi namanya juga anak kecil, memang agak sulit membuatnya duduk tenang terus-menerus. Jadi, kalau ada anak lain yang datang ke kantor, aku merasa lebih lega.

Kamu masih ingat, kan, kalau gedung kantorku tersambung dengan mal itu? Di situlah kami pergi, setiap hari. Alasannya mudah; dekat, dingin, dan semuanya hampir ada di sana. Aku yakin dalam satu tahun lagi Arka sudah menghafal kantor dan mal itu seperti rumahnya sendiri—mengkhawatirkan, memang, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Aku ingin Arka tumbuh dengan berlarian, memanjat pohon untuk mengambil buah, atau menangkap kodok di selokan. Sepertinya itu harapan kita semua sebagai orangtua. Tapi, dengan adanya polusi, bahaya penyebaran penyakit, dan kejahatan yang ditujukan pada anak-anak, hal tersebut cukup sulit.

Anak-anak punya hak yang sama untuk menghirup udara dan menikmati alam, seperti kita ketika masih seumur mereka. Dan sekarang kita sudah cukup tega untuk merampas hak tersebut, bahkan ketika mereka tidak tahu mereka memilikinya.

Jadi, setelah bekerja, kami pergi berbelanja—karena kebetulan aku harus mengisi ulang stok bubur pisang favorit Arka. Dia suka duduk di dudukan troli dan didorong untuk melihat warna-warni buah atau berbagai label dagang, sehingga mau tidak mau acara belanja yang sebetulnya hanya beli satu barang saja bisa berubah jadi eksplorasi berjam-jam. Setelah aksi dorong troli berganti jadi sesi asyik melihat ikan-ikan berenang di akuarium, Arka mulai beraksi mengocehkan kata favoritnya: “ayah”. Wajahnya merengut. Kalau sudah begini, pasti ada yang tidak beres. Ternyata benar, setelah kuselidiki Arka butuh diganti popoknya. Kamar mandi pria tidak punya meja ataupun alas duduk yang bisa digunakan, dan aku tidak mungkin masuk kamar mandi wanita untuk mencari tahu.

Begitu sulitnya menjadi ayah yang memiliki rasa tanggung jawab dalam membesarkan anak. Ini sudah era modern, kereta saja sudah bisa mengambang di atas rel, tidak seharusnya masalah mengganti popok saja harus sebegini repot.

Aku meminta petugas kebersihan untuk mengecek apakah nursing station dalam keadaan kosong. Sayangnya tidak, ada beberapa ibu yang sedang menyusui. Seketika aku menepuk dahi dan meringis. Sepertinya petugas tersebut tidak tega melihat Arka merengek, jadi tidak lama kemudian dia memberi tahu kalau aku bisa masuk. Aku pun sukses mengganti popok Arka dalam ruangan berisi para ibu, dan Arka pun sukses bertemu teman baru. Saat berada di sana, aku merasa seperti baru saja melakukan operasi sulit karena seisi ruangan berusaha keras memproses apa yang terjadi. Salah satu perempuan bahkan menawarkan untuk membantuku—yang kutolak, tentu saja—serta memujiku karena mau mengurus Arka karena menurutnya jarang ada pria yang bisa melakukan hal tersebut. Kita perlu terbiasa melihat pria di dalam nursing station, kurasa. Akhirnya, sebelum gosip hangat para ibu mengenai kondisi suami masing-masing semakin memuncak, aku membawa Arka pulang.

Kita perlu terbiasa melihat pria di dalam nursing station, kurasa.

Seperti yang bisa kau lihat dari panjangnya tulisan ini, aku menyayangi Arka dan aku tidak pernah menyesal dia ada di dunia. Tetapi, Ratu, ada beberapa masalah yang perlu kita selesaikan berkaitan dengan Arka. Aku akan menjelaskan yang terpenting di sini dan mengabaikan masalah sepele.

Pertama, tidak adanya namaku dalam akta kelahiran Arka bisa menjadi masalah. Mungkin sekarang tidak terlalu penting, tetapi ini bisa menghalanginya untuk masuk sekolah atau mendapatkan hak-hak tertentu nantinya. Aku berpikir untuk pergi ke pengadilan demi menyelesaikan ini sendirian, sayangnya dari informasi yang kuterima kau pun perlu hadir di sana.

Kita telah mencapai kesepakatan untuk memberi hak asuh Arka padaku dan tidak berhubungan lagi, tetapi hukum menyatakan kalau aku tidak punya hak asuh resmi karena dia masuk dalam keluargamu. Aku merasa dalam posisi yang serba sulit—aku berkewajiban untuk menanggung beban membesarkan seorang anak yang bahkan tidak dapat diakui sebagai putraku sendiri. Oleh karena itu, Ratu, aku berharap kamu bersedia dengan rendah hati datang dan, setidaknya, mau bersaksi dalam usaha pencatutan namaku di catatan kelahiran Arka.

Kemudian, Arka mungkin tidak tahu konsep keluarga sekarang. Dunianya masih penuh warna walau belum punya nama. Di masa depan, ketika dia melihat kawan-kawannya memiliki seorang ibu, mungkin saat itulah aku akan mendapatkan sedikit kesulitan. Aku akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjelaskan bahwa kita memang sebuah keluarga yang tidak biasa, tetapi masih berupa sebuah keluarga. Aku tahu persis mau bagaimanapun kondisinya, kita tidak akan menikah. Aku juga tidak pernah berpikir untuk memaksamu ke dalam pernikahan karena kamu mencintai kebebasanmu. Tetapi, kalau kamu punya strategi bagus menghibur Arka bilamana dia mulai mengerti sindiran dan gosip dari orang-orang, kiranya kamu ingin membaginya denganku.

Yang terakhir ini mungkin sedikit pribadi. Aku tahu kamu menyerahkan Arka untuk kujaga karena kamu merasa belum siap. Kenyataannya, kita berdua tidak pernah siap. Sampai saat ini pun, aku merasa sangat tidak siap menjadi orangtua. Meskipun begitu, aku tidak menyalahkanmu atau menganggapmu orang tua yang tidak bertanggung jawab. Kamu telah memilih untuk melahirkan Arka dan sebagai ayah sudah semestinya aku ikut andil karena aku bukan seorang bajingan. Aku akan memastikan ia tumbuh dan berhasil menjadi lebih baik dariku dan tidak melakukan kesalahan yang sama.

Beberapa hari yang lalu, ketika aku membereskan barang, kulihat dia dengan senang menghantamkan tangan ke keyboard. Sepertinya berusaha meniruku saat bekerja. Itu membuatku khawatir. Sesuai dengan yang telah kita ketahui bersama, aku bukan figur yang baik untuk ditiru. Aku juga tidak ingin dia meniru ayahnya saat besar.

Tetapi aku ingin berterima kasih, Ratu, padamu yang telah bertahan dan percaya bahwa aku dapat menjaga Arka sendirian setelah pengusiranku dari keluarga, juga pada keyakinanmu bahwa apa yang terjadi di antara kita memiliki sebuah makna. Setidaknya, bagiku, mengasuh Arka membuatku belajar beberapa hal dan mencegahku melakukan beberapa aktifitas yang, mungkin, sampai sekarang masih akan kulakukan tanpanya.

Aku masih punya mimpi untuk melanjutkan master seperti yang pernah kuutarakan, dan aku berpikir kalau Arka bukan halangan untuk mengejar mimpiku. Justru, dialah yang mendorongku untuk terus maju. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membesarkannya sekaligus meraih apa yang kucita-citakan, dan kuharap kamu akan mendapatkan apa yang kamu impikan pula, Ratu.

Aku tidak tahu apakah kamu akan memberikan balasan atau tidak, tetapi aku akan terus memberikan perkembangan Arka. Kamu berhak tahu karena dia anakmu juga. Dan kalau kamu punya pendapat sama denganku serta mengkhawatirkan masa depan Arka, kita harus mencari penyelesaian sesegera mungkin.

Semoga kita berjumpa dalam titik temu.

Tertanda,

Janitra

Foto door Freddy Castro op Unsplash

Geef een reactie

Het e-mailadres wordt niet gepubliceerd. Vereiste velden zijn gemarkeerd met *