Door: Ni Putu Diah Asyanti
Saat ini pukul enam pagi. Udara yang masih sejuk dan sedikit berembun membuat pagi ini lebih terasa segar. Di tengah-tengah keheningan pagi, terdengar deru mesin motor yang melintas di jalan yang lengang, nampak berburu untuk memulai hari pada tujuan masing-masing. Selain itu, terdengar ibu-ibu kompleks yang saling menyapa dengan lisan yang tertutup masker. Sebelah tangan mereka menjinjing plastik berisi sayuran yang nampaknya siap untuk dimasak. Berbagai hal dapat menjadi bahan perbincangan ibu-ibu yang saling sapa di tengah jalan ini, mulai dari keluarga, tetangga, kuliner, bahkan sampai episode terbaru keluaran sinetron terkenal. Aku mengulum senyum, dalam benak, kudoakan ibu-ibu ini agar selalu dalam lindungan Tuhan.
Jika berbelok ke arah kiri, kita akan menjumpai SD Madrasah yang di depannya terdapat satu keluarga (iya, satu keluarga! Karena ayah, ibu, dan seorang anaknya berada di sana) yang berjualan nasi uduk, gorengan yang masih hangat, serta lontong sayur. Sebelum pandemi menguasai dunia, dagangan mereka biasanya sudah habis pukul setengah delapan pagi. Adapun dagangan dari keluarga itu habis diburu oleh murid SD yang belum sempat sarapan, orang tua yang mengantar anaknya, guru-guru yang ingin mencari sarapan praktis, sampai mahasiswa yang meminta pesanannya dibungkus agar bisa dimakan sambil membaca bahan kuliah. Namun akhir-akhir ini, keluarga kecil penjual sarapan pagi ini harus menunggu sedikit lebih lama hingga dagangan mereka ludes terjual.
Usaha sarapan pagi milik keluarga ini memiliki kompetitor. Berdiri sebuah warkop 24 jam tepat di sebelah SD Madrasah. Warkop ini biasanya dijadikan tempat nongkrong bagi anak SD yang sedang ingin minum berbagai jenis minuman instan, tukang dagang keliling yang singgah untuk memesan kopi, hingga mahasiswa yang ingin memakan mie dalam berbagai bentuk: dari rebus, goreng, sampai dicampur dengan nasi atau biasa disebut magelangan. Namun, saat pandemi ini, mereka tidak buka 24 jam dan hanya buka saat sore hingga malam hari.
Entah kapan pandemi ini berakhir, tapi, aku benar-benar rindu pagi hari sebelum pandemi. Cuaca yang jauh lebih segar ini tak bisa menggantikan suasana hari-hari normal sebelum pandemi, waktu di mana aku bisa melihat anak-anak SD bermain dengan rekan sebaya mereka, ibu-ibu dengan senyum merekah yang berbincang tanpa penutup mulut serta tanpa berjaga jarak karena saling waspada, hingga sesama mahasiswa yang berjalan dengan langkah lebar menuju kampus tercinta.
Andai bisa kembali.
Foto door Fang-Wei Lin op Unsplash