KENANG

Tuan, saya menulis ini sembari menatap foto kita. 2019, dua tahun lalu, di sebuah pameran lukisan. Kamu menjemput saya pukul tujuh malam. “Pakai motor saja, ya. Saya tidak boleh bawa mobil kalau malam-malam,” katamu. Padahal saya memang lebih suka kita pakai motor karena saya suka menatap punggungmu. Saya suka menepuk pundakmu saat kamu menyetir telalu ngebut. “Hati-hati!” kata saya, walaupun saya tahu kamu selalu hati-hati. Saya juga tahu tanganmu kuat, peganganmu selalu erat.

Sesampainya di pameran, Tuan, kamu selalu di belakangku. Mengawasiku yang berkeliling menatap lukisan ini lukisan itu, balik lagi ke tempat yang sebelumnya, cekrek sana cekrek sini. Dan cekrek! Kamu mengambil foto saya yang sedang berburu lukisan abstrak. Saya marah karena saya tidak cantik di foto itu. Kamu tersenyum. “Kamu selalu sempurna di mata saya, seperti apapun ekspresimu.”

Seperti anak kecil, saya keliling sana keliling sini. Kamu masih mengawasi, berdiri di belakang, sembari melihat-lihat lukisan di dekatmu juga. Kamu bawakan jaket dan tas saya, supaya tidak kerepotan lari-larinya, kamu berkata. Lalu, kamu juga datang sambil membawa minuman. Aih, daripada seorang kekasih, kamu malah seperti malaikat pelindung bagi saya.

“Kamu haus.”

Saya tersenyum. Kamu selalu tahu, bahkan ketika saya tidak tahu akan kondisi saya sendiri.

Tak lama, saya kemudian menghampirimu. “Ada lukisan bagus yang saya suka!”

“Hah? Mana?” Kamu langsung penasaran. Katamu, selera seni saya selalu bagus. Kamu juga berkata bahwa tangan saya yang suka melukis ini seperti penyihir yang bisa membentuk gambar apa pun di atas media kertas maupun kanvas. Kamu juga punya beberapa lukisan saya. Bawa pulang, saya melukis ini untukmu.

Kita berdiri, berdampingan menatap lukisan abstrak itu. Lukisan Bali, walau abstrak, masih terasa nuansa barong-barongnya.

“Saya tidak bisa berkata-kata dengan seleramu, Ken.”

Ya, kita saling memanggil Ken. Aku juga memanggilmu Ken. Ken Arok dan Ken Dedes (tapi dalam kasus ini, tidak ada Tunggul Ametung maupun anak-anak yang saling perang saudara).

“Berapa, ya?”

“Ken mau? Saya belikan, ya?”

“Pasti mahal.”

“Ken, saya pernah bilang ke kamu. Ingat, tidak? Kamu mau apa, tolong katakan. Apapun yang kamu mau, kalau saya mampu untuk itu, saya belikan, Ken.”

“Bagaimana kalau ratusan juta?”

“Saya masih punya milyaran.”

“Jangan ngaco!” saya menoyor bahumu. Kamu tertawa, walaupun nadanya seperti bercanda, saya tahu kamu jujur mengatakannya.

“Jangan, tidak usah,” ucap saya.

“Kamu menyukainya. Saya akan beli untuk kamu. Tunggu di sini.”

Kamu memberiku botol air minum, menyuruhku duduk, lalu kamu menghilang. Dari arahmu berjalan, kamu mencari panitia pameran. Dapat. Kamu membawa panitia itu ke tempat saya.

“Yang ini, Mas?” tanya panitia tersebut.

“Tanya kepada Nona Manis ini, Mbak.”

“Yang ini, Mbak?” Saya langsung melirikmu dan mengerutkan dahi.

“Ken, saya bilang tidak usah,” ucap saya tidak enak. Kamu memegang pipi saya, lalu berkata dengan lembut. “Terima, Ken. Kalau dikasih itu diterima.”

Kalau kamu sudah bilang begitu, saya tidak bisa menolak lagi.

“Yang itu, Mbak.” Aku menunjuk lukisan dengan cat akrilik tadi.

“Satu lagi, ya? Yang mana?” tawarmu.

“Tidak mau. Kalau kamu memaksa, saya mau pilih satu lagi, tapi itu punya kamu.”

“Ya, boleh.”

Saya menunjuk lukisan dengan cat akrilik lagi dan bertemakan abstrak. Masih bisa ditebak kalau lukisan itu bernuansa pasar tradisional zaman dahulu.

“Ken, kamu duduk lagi, ya? Saya akan mengurusi pembayaran dulu.”

“Kamu habis berapa, Ken?” tanya saya setelah kamu kembali dan kamu hanya tersenyum.

“Tau gini saya bawa mobil,” katamu lagi beberapa saat kemudian, sambil kerepotan membawa dua kardus berisi dua lukisan yang barusan kamu bayar.

“Katanya nggak boleeeeh?”

“Boleh aja sebenernya. Cuma agak sulit.”

“Sulit kenapa?”

“Gak bisa kamu peluk dari belakang,” katamu, lalu menepuk-nepuk kepala saya.

Akhirnya, karena kerepotan membawa dua lukisan dan takut rusak juga, kita inisiatif untuk memakai jasa pengiriman. Masalah beres.

Lalu, tahun berikutnya, 2020. Kita ke pameran lagi.

“Beli lagi boleeeh,” ucapmu.

“Kamu nuyul, ya? Gila apa uang gak habis-habis,” ucap saya ngasal.

“Yang kaya Ayah saya. Saya kena cipratannya sedikit.”

“Cipratanmu nyiprat ke saya lagi.”

Kita tertawa. Lalu, di depan lukisan yang lagi-lagi abstrak—memang saya suka sekali dengan lukisan abstrak—kamu menatap saya.

“Ken, kamu ingat kan, kenapa saya banyak memberimu barang?”

Ya, kamu memberi saya banyak barang. Buku-buku, pensil warna, cat air, kanvas, dan seterusnya. Well, saya juga memberimu banyak barang. Tapi seperti yang kamu minta, barangnya yang kecil-kecil saja biar mudah dibawa ke mana-mana. Saya memberi kamu gantungan kunci dari resin berisi kupu-kupu, lukisan-lukisan saya, coretan puisi, syal yang saya rajut sendiri, files cerpen-cerpen tulisan saya, dan benda-benda kecil lainnya. Harganya sangat tidak sebanding dengan yang kamu beri, tapi katamu, barang-barang yang asli buatan saya harganya melebihi sebuah pulau.

Iya, hadiah-hadiah saya kecil, biar mudah kamu bawa ke Amerika, kan?

“Bulan depan kamu berangkat.”

Saya merindukanmu. Tahun ini, pameran lukisan diadakan bulan depan. Saya akan pergi sendiri tanpamu, Tuan.

28 Oktober 2021

Ken Canberra Fana

Geef een reactie

Het e-mailadres wordt niet gepubliceerd. Vereiste velden zijn gemarkeerd met *